(Alhamdulillah cerpen ini masuk karya favorite kategori C, semoga ke depannya bisa ;lebih baik)
Entah mengapa puisi selalu mengingatkan aku
dengan ibuku. Saat membaca apalagi menulis puisi, aku selalu merindukan
perempuan bernama ibu. Puisi adalah rumah bagi kata-kata asing dari hatiku yang
ingin berbagi kehangatan : ibu adalah rumah tanpa sekat dinding, ketulusan adalah
dinding pelindung terbaik untuk anaknya. Pelukan adalah pintu tanpa penutup,
kapan saja aku boleh masuk kesana. Tetapi, aku penghuni yang kadang lupa jalan
pulang.
“Hal berharga tak akan pernah terasa begitu
berharga bagimu sebelum kau kehilangannya,” itu kutipan kata ibu yang
memantul-mantul di dinding hatiku kala kesedihan menjadi tamu hatiku yang
menciptakan kekosongan.
Ibuku mengucapkan kalimat pendek itu ketika
seorang yang amat kucintai bukanlah lagi orang yang mencintaiku karena satu
alasan dan beberapa hal yang adalah kesalahanku dan itu cukup masuk akal.
Kuharap tak akan pernah mengalami kehilangan
seperti itu lagi dan meratapi betapa berharganya yang hilang dariku. Tidak
lagi. Tapi, ternyata suatu hari aku menyadari. Betapa rumah tanpa ibu bukanlah
rumah layak huni.
*
Sudah berapa lama kau mengenal ibumu?
Itu adalah pertanyaan
yang selalu kulontarkan pada diriku sendiri. Setiap saat, terutama ketika aku
merasa benar-benar tak memahami ibu. Ia orang yang sulit kumengerti dan
kadang-bahkan sering-aku merasa ia tak pernah mau mengerti aku. Ia selalu
bilang aku egois. Dalam hati aku juga menggerutu betapa egoisnya ibu.
Ada perbedaan yang begitu
bertolak belakang antara aku dan ibu yang menjadi asal-muasal mengapa kami
kadang sering perang mulut :
Pertama, Ibuku adalah perempuan yang sangat
superduber perfeksionis. Aku? Selalu santai dan membiarkan semuanya berjalan
apa adanya. Untuk apa merencanakan semuanya secara ketat? Jika beberapa keluar
dari lajur rencana hanya akan menambah beban stres. Sering kali aku melontarkan
pendapatku itu, tetapi sering kali juga ibu balas berucap,”Setidaknya kita
sudah berusaha menempatkan semuanya sesuai rencana. Jika beberapa rencana tidak
sesuai itu hal lain. Harusnya kau berusaha dengan baik merencanakan segala hal,
Kawi.. mulai dari kau bangun tidur sampai kau tidur kembali. Harus ada jadwal
rutinitas yang jelas, dan bla bla blabla..” aku selalu sakit kepala saat ibu memulai
ocehannya yang tak tahu akan selesai kapan. Yang kutahu ibu akan selesai bicara
setelah mood-ku benar-benar runyam.
Kupingku sudah kusiapkan penyumbat otomatis, tapi kadangkala itu percuma saja.
Kedua,
Ibuku adalah perempuan petugas kebersihan yang sangat paling rajin yang kutahu.
Aku? Aku kebanyakan masa bodoh dengan hal-hal kecil seperti perihal kebersihan.
Aku tidak pernah menentukan dimana aku harus meletakkan tumpukan kertas final test-ku agar terjangkau jika suatu
waktu aku butuhkan kembali. Aku juga tak pernah ‘membeda-bedakan’ letak buku
pelajaran dan novel-novelku. Semuanya aku setarakan-aku simpan berdasarkan
dimana tanganku menjangkau tempat. Menurutku masih banyak hal penting yang
perlu aku lakukan selain hanya merapikan buku, menata kamar dan rumah atau
mengintai debu di kamarku. Namun, ibu tak pernah sepemikiran dengan pikiranku.
Jalan pikiran kami ibarat persimpangan, bercabang-cabang dan jarang sekali
bertemu. Jika pun bertemu, cepat atau lambat akan kembali berpotongan.
Ibuku
selalu setia mengingatkan aku-atau lebih tepatnya memarahiku-karena
kondisi kamarku yang menurutnya jauh dari kondisi kamar anak gadis. Setiap kali
ibuku bercoloteh seperti itu, aku meringis dalam hati : mengapa Tuhan aku bukan
laki-laki saja? Tapi sungguh aku sudah banyak mengeluh dan sangat malu pada
Tuhan.
Aku jadi berpikir tentang watak kami yang
jauh berseberangan. Ibuku dengan gaya suaranya yang khas selalu mengatai
sifatku yang slebor tak jauh beda dengan seorang lelaki yang dulu pernah jadi
suaminya lima tahun lalu. Ya, ayahku. Ibu selalu menyama-nyamai aku dengan
sifat ayah. Jadi, aku cukup paham mengapa ibu dan ayah semestinya titik sampai
disitu-lebih baik begitu. Dan aku tak pernah menanyakan perihal yang mereka
selisihkan. Kurasa sudah cukup jelas. Meskipun begitu aku selalu berandai : Walaupun
mereka memiliki banyak perbedaan, namun jika saja keduanya tak memiliki
kesamaan yaitu sama-sama egois, mungkin.. yah.. perceraian itu tidak akan
pernah jadi pilihan yang baik.
Sama seperti ayah dan ibu. Aku dan ibu juga
memiliki persamaan yang menguatkan perbedaan diantara kami : sama-sama keras
kepala. Ibu dan aku sama-sama berdiri pada posisi yang benar dan tak satupun
diantara kami yang ingin menggeser posisi itu. Sungguh lengkaplah semuanya!
*
“KAWIII…!!”
Yah, aku tahu itu namaku. Kawi-nama yang
kuanggap aneh, tapi tak pernah sekalipun aku bertanya apa arti dua suku kata
itu. Kawi Effendi adalah nama pemberian ibu. Ibu sendiri yang pernah
mengatakannya tanpa aku tanya. Aku mengerti nama effendi diambil dari nama
ayahku, tetapi Kawi masih jadi misteri. Aku memang tak terlalu ingin
mempertanyakan hal-hal kecil seperti seutas arti nama itu walau kadang hati
kecilku cukup penasaran.
“KAWIII…!”
Suara itu terdengar melengking dari panggilan
pertama. Aku berada dalam kamar dengan pintu tertutup rapat, tetapi suara itu
masih bisa menembus indera pendengaranku yang sangat membutuhkan hening paling
tidak beberapa jam ke depan. Tapi, suara itu mengusir semua keheningan dan
mengundang banyak kebisingan. Sebelum suara itu kembali memekik, aku putuskan
menutup laptop dan bergegas keluar kamar menuju gudang di lantai dua-tempat
ibuku berdiri dengan mengenakan daster panjang khas seragam kebersihannya.
“Kawi, kamu ini dipanggil-panggil susah amat! Lihat,
ibu lagi repot.. bantu ibu bereskan kardus-kardus ini!”
Aku menarik nafas panjang sekali sebelum
berkata,”Ibu, dua minggu lalu gudangnya kan
udah dibereskan. Kenapa harus
dibereskan lagi?” aku bersungut kesal.
“Lantai gudangnya sudah mulai kotor. Kardus-kardus
buku lamamu kemarin kamu taruh sembarangan. Ya, jelas harus dirapikan lagi..”
“Ibu, gudang memang tempat menyimpan barang
bekas, nggak harus sebersih ruang
tamu kita, bu..” ucapku.
Ibu tak menanggapi. Ia sibuk meletakkan
beberapa kardus dan menyisir beberapa sarang laba-laba yang tak pernah jera
berada di sudut ruang kecil itu. aku menggigit kuncup bibirku dengan harapan
sore ini aku bisa menyelesaikan beberapa tulisan serta puisi-puisiku yang jauh
dari rampung dan bukannya membersihkan gudang. Puisi-puisiku dan tulisan itu
sangat penting, belum lagi aku harus dikejar waktu menyelesaikan skripsi yang
tinggal membutuhkan polesan. Sedikit lagi aku akan jadi sarjana. Sebentar lagi
aku akan jadi penulis sungguhan.
“Ibu, kumohon.. ada yang harus benar-benar aku
selesaikan sore ini. Tidak bisakah bersih-bersih gudangnya ditunda dulu?” aku
memelas dengan wajah sedikit memaksa.
“Menunda-nunda pekerjaan bukan hal yang baik,
Kawi. Lekas ambil sapu! Setelah ibu menyingkirkan semua kardus ini, kamu sapu
lantainya, ya.. sebentar malam masih ada waktu untuk menyelesaikan pekerjaanmu.
Apa salahnya kamu membantu ibu dulu?”
Bahuku mengendur. Dan akhirnya aku harus
membuat beberapa puisiku menunggu lagi.
Ibu sendiri yang bilang menunda-nunda adalah
pekerjaan yang buruk. Lalu mengapa ia menyuruh aku menunda puisi-puisiku dan
skripsi yang terus-menerus memanggil-manggil aku di dalam kepalaku? Ah.. ibu. Tidak bisakah sejenak engkau
membantu aku dengan menunda melakukan hal kecil seperti ini saat aku sedang
memburu waktu? Waktu terus berjalan semakin jauh, dan aku tidak yakin bisa
mengejarnya sebentar malam dan melihat beberapa puisi serta artikelku rampung
dalam waktu singkat. Tidak sama sekali, ibu..
Mungkin aku harus melupakan lomba menulis itu
yang tinggal dua hari lagi..
*
Akhir yang indah. Kusebut hari ini adalah
akhir yang indah bagiku sebagai mahasiswa ekonomi di sebuah universitas ternama
di kotaku. Setahun lebih aku berjuang menyelesaikan skripsiku dengan peluh,
airmata, dan berjuta kesabaran menerima kritikan dosen pembimbingku yang aku pikir
sengaja membuatku lebih lama berkutat dengan skripsi ini. Sungguh, dalam hati
aku sangat meminta maaf kepada dua dosenku yang sesungguhnya sangat berjasa
karena aku sempat berpikiran buruk seperti itu. Dan untuk ibuku. Sudah lama ia
menanti aku memperlihatkan hasil skripsiku dan memajang fotoku dengan memakai
toga. Dan sudah lama pula ia menceramahiku karena lima tahun betah menjadi
mahasiswa. Aku sungguh berterimakasih kepada ibu. Diam-diam pasti ia selalu
mendo’akanku dalam shalatnya dan sebelum ia tidur. Bu, Aku sudah sarjana..
Mendapat gelar Sarjana Ekonomi adalah hal
yang cukup membanggakan. Namun, jika aku beritahu pada ibu aku ingin melamar di
sebuah perusahaan penerbitan majalah yang sudah beberapa kali menerbitkan
tulisanku dan bukannya melamar di perusahaan yang membutuhkan akuntan atau di
sebuah bank, apakah.. apakah ibu akan berlapang dada menerima keputusanku ini?
Apakah ibu akan menerima jika anak semata wayangnya yang ia inginkan jadi
seorang pengusaha mapan atau paling tidak wanita karir sukses, bercita-cita
menjadi seorang penulis?
Aku tahu, harusnya dari awal lebih berani
mengutarakan mimpiku menjadi penulis dan penyair ternama seperti Sapardi Djoko
Damomo atau Ernest Hemingway. Harusnya dari awal aku mengatakan tertarik dengan
jurusan sastra. Bukannya asal mengikuti alur yang dirancang ibu dan membenarkan
pemikiran sempit orang-orang jika lulusan jurusan sastra akan sulit menembus
lowongan kerja nantinya. Akhir yang indah ini bukan waktu yang tepat untuk
merenungi penyesalanku.
*
“Kawi, kau ini sudah sarjana masih saja belum
bisa mengubah kebiasaan burukmu! Lihat kertas berserakan di meja belajarmu
itu.. apa bisa kamu belajar dengan kondisi seperti itu?”
“Bu, yang belajar kan, aku.. ibu tidak usah
terlalu memusingi kondisi kamarku. Kalau berantakan menurut ibu, ibu pura-pura
tidak tahu saja..” ucapku. Mataku tidak menengok kearah ibu, sibuk memandangi
layar laptop.
“Ini bukan soal memusingi kondisi kamarmu.
Ibu ingin mengajari kau rapi dan disiplin mengerjakan sesuatu walaupun itu hal
kecil. Pekerjaan besar dimulai dari hal kecil. Bagaimana nanti jika kamu sudah
terjun ke dunia kerja? Kalau sifat tidak teraturmu itu dipelihara, akan banyak
pekerjaanmu yang terbengkalai.. atasanmu pasti akan memarahimu lebih dari ibu
bahkan memecatmu. Ibu sudah lebih dulu makan garam..”
Aku mengangguk isyarat mengerti atau tanda
masa bodoh. Sejujurnya aku tak benar-benar menyimak apa yang baru saja ibu
katakan.
“Kawi, kau mengerti atau tidak?!”
Itu sebuah pertanyaan yang menjelma menjadi
bentakan.
Jari-jariku berhenti sejenak di atas keyboard. Kupalingkan wajahku kearah
ibu,”Iya.. iya ibu.. aku mengerti..”
“Kalau begitu lekas bereskan kamarmu sampai
benar-benar rapi. Pisahkan buku pelajaran dan buku novelmu yang kurang penting.
Saat ibu kembali kamarmu sudah harus rapi. Mengerti?”
“Ya, ibu. Akan aku lakukan jika semua
tulisanku sudah selesai.”
“Sekarang, Kawi! Kalau kamu tidak suka aturan
ibu, silahkan tinggal di tempat ayahmu!”
Aku bungkam. Entah kenapa ancaman ibu itu
selalu terdengar mengerikan bagiku. Walaupun di rumah ayah aku mungkin akan
bebas mengatur kemauanku sendiri, tetapi tinggal bersama ayah akan jauh terasa
berbeda. Tidak akan ada yang membuatkan sarapan kesukaanku setiap pagi. Ibu
punya senjata pamungkas yang bisa memotong lidahku untuk menyanggahnya (lagi).
*
“Ibu, aku diterima sebuah perusahaan
penerbitan majalah sebagai editor dan sekaligus aku akan jadi penulis tetap,”
aku mengucapkan kalimat itu dengan satu tarikan nafas.
Ibu diam cukup lama. Hening diisi dengan
matanya yang lurus menatap wajahku setengah merunduk. Aku tak yakin ibu
menyukai keputusanku ini. Matanya yang sayu seperti mata pisau, membuat hatiku
mendadak was-was.
Seusai kelulusan SMA dulu, ibu mengutarakan
keinginannya agar aku bisa jadi kebanggannya. Ia ingin aku jadi seorang wanita
yang cerdas. Awalnya ia ingin aku jadi seorang dokter seperti sepupuku yang
lima tahun lebih tua dariku, tapi kepintaranku tak cukup menjangkau cita-cita
ibu dan aku sama sekali bukan orang yang sering beruntung dalam ujian. Akhirnya
pilihan kedua ibu menginginkan aku menjadi seorang wanita yang bisa kerja di
sebuah perusahaan besar. Kalau perlu keluar negeri dan bekerja di perusahaan
asing-seperti sepupuku juga yang tiga tahun lebih tua dariku dan sukses
mendapat beasiswa kuliah diluar negeri. Entah mengapa aku merasa ibu menjadikan
aku obsesinya. Obsesi yang masa mudanya dulu tak ia raih. Ibu tak pernah sama
sekali menanyakan apa keinginan besarku selama ini.
Aku bisa mendengar kerongkongan ibu yang terasa
berat saat menarik nafas,”Ibu sepertinya tak berhak menghalangi jalanmu, nak..
meskipun ibu ingin kau lebih dari itu. Tapi, jika kau yakin dengan pilihanmu, lakukanlah!”
Aku mengangkat wajah. Cukup terkejut dengan
pernyataan ibu. Masih ada yang ingin aku utarakan padanya, tetapi lidahku
terasa keluh. hatiku sibuk menimbang-nimbang kalimat yang ingin aku ucapkan.
“Bu..” aku menelan ludah.
“Aku berencana akan tinggal di sebuah rumah
kos yang cukup dekat dari tempatku bekerja nanti, apa ibu keberatan aku tinggal
sendiri?”
Ibu kembali berbicara dengan mata, kali ini
senyumnya ikut menyiratkan jawaban. Ibu masih tersenyum. Lama sekali..
*
Alasanku ingin tinggal jauh dari ibu adalah
ingin membuktikan padanya jika aku bisa mandiri dan aku pun bisa mengatur hidupku
dengan caraku. Seminggu menetap di kota jauh dari letak rumahku di kabupaten
perbatasan kota dan tinggal sendiri di sebuah kamar yang lebih sempit dari
kamar lamaku, semuanya terasa begitu mudah bagiku. Tak ada halangan yang cukup
membuatku pusing seperti yang ibu katakan sebelum aku pindah : Ingat, nanti kamarmu jangan seperti kapal
pecah. Sekarang kau sudah bekerja, kau harus disiplin mulai dari dirimu
sendiri. Kalau tidak, semuanya akan kacau. Itu menurut ibu. Tetapi, mau
seacak apapun kamarku saat ini, tak ada ibu yang akan mengusikku. Aku bebas
mengatur semuanya, semauku. Begitu pikirku.
Namun, tak sampai tiga minggu kerikil kecil
namun tajam mulai menghalangi jalanku-yang awalnya aku pikir akan berjalan mulus
lebih lama dari kenyataan. Suatu pagi cerah seharusnya menjadi pagi yang baik
hati, menjadi pagi yang terlalu panas untukku. Mungkin hanya untukku. Aku
tertunduk lesu di ruang atasanku dengan mulut tertutup rapat. Pikiran kalutku
menenggelamkan kunci kata yang harusnya bisa membuka mulutku saat dimarahi
seperti ini. Seperti saat ibu memarahiku karena keteledoranku. Aku punya banyak
sekali kata untuk menyangkal.
Hari ini aku melakukan kesalahan. Tidak satu
kesalahan, tapi dua. Sungguh kesalahan fatal untuk karyawan baru seperti aku.
Pertama, Aku menghilangkan beberapa berkas yang harus kuserahkan. Entah kuhilangkan
atau hanya tercecer di tumpukan bukuku, seingatku kemarin berkas itu masih utuh
di laciku. Namun, setelah aku mencarinya semalaman, berkas itu tidak ada di
sana lagi. Kedua, akibat mencari berkas penting semalaman, tulisan yang harus aku
edit dan desain untuk penerbitan minggu ini tak jadi rampung. Untunglah aku
masih sempat menuntaskan puisiku. Kalau tidak kesalahanku bertambah tiga.
“Kau
ini masih baru tapi sudah tidak displin seperti ini! Aku kan sudah bilang ke kamu, itu berkas penting! Bagaimana bisa kamu
hilangkan?”
Bibirku bergetar. Bercampur aduk antara gugup
dan menahan airmata. Ada suara yang tahu-tahu merajai benakku. Semakin mebuatku
gila.
Pekerjaan besar dimulai dari hal kecil.
Bagaimana nanti jika kau sudah terjun ke dunia kerja? Kalau sifat tidak
teraturmu itu dipelihara akan banyak pekerjaanmu yang terbengkalai.. atasanmu
pasti akan memarahimu lebih dari ibu. Kalimat omelan ibu sesak di kepalaku. Semakin menambah perasaan
bersalah yang sulit aku akui.
“Akan kucari lagi, pak.. mungkin tidak
hilang. Hanya terselip di tumpukan buku. Tapi, semalam saya sulit
menemukannya..” akhirnya aku mengeluarkan suara dengan sangat nekat meski
terbata.
Pak Robi, atasanku itu geleng-geleng kepala
sambil melepas kacamatanya. Seakan benar-benar frustasi. Sebenarnya ia adalah
orang yang penyabar dan murah senyum seperti seorang ayah. Tapi, aku sangat
berani menguji kesabarannya. Kuharap ia masih menjadi orang penyabar seperti
yang kukenal dan keputusan akhirnya adalah memaafkanku.
“Kawi..”
Aku mengangkat kepala menatapnya ragu-ragu.
“Kesalahanmu ini cukup besar, apalagi kau
tidak menyelesaikan tanggung jawabmu sebagai editor. Aku tidak tahu harus
memberimu kesempatan atau..”
Aku tak sadar saat itu aku memandanginya
dengan mata kaca yang rapuh. Hatinya mungkin luruh.
“Aku memberimu kesempatan. Asal kau harus
bisa diandalkan. Memegang tanggung jawabmu dengan sungguh-sungguh. Dan, yang
tak kalah penting kau harus disiplin. Ingat?”
Aku mengusap ekor mataku. Anggukanku lesu.
Ini benar-benar hari yang panas. Terlalu panas sampai air di rongga dadaku
mendidih.
*
Ibu, aku hampir saja kehilangan pekerjaan ini.. seperti
kata ibu seringkali kesalahan diri sendiri yang membuat kita kehilangan yang
kita punya. Maaf.. sungguh, maaf
*
Aku
pulang. Kakiku merindukan jalan pulang. Hatiku diisi kekosongan dan kekosongan
memintaku mengisinya dengan pelukan ibu juga satu kata maaf—barangkali membutuhkan
lebih banyak dari satu. Ibu, aku pulang ketika aku lihat ibu duduk tercenung di
halaman rumah seperti hendak menyambut atau menantiku selama ini.
Aku
memandanginya tak jauh dari tempat ia berdiri yang juga sedang memandangiku
dengan senyum dan ada airmata bersembunyi disana. Aku pulang ke rumah yang
selalu menantiku, tapi kadang aku tersesat di dalam diriku sendiri.
Aku
masuk kedalam pintu yang tak pernah tertutup apalagi terkunci. Kubiarkan hatiku
menyesap kekosongan, kubiarkan kekosongan penuh dengan pelukan ibu. Hingga
kekosongan itu tinggal setengah, lalu kuisi lagi dengan tiga kata :
“ibu,
maafkan aku..” aku selalu mengutarakan maksudku dengan lidah. Tapi ibu seperti
puisi, kalimat itu ada di belaian tangannya yang mengusap rambutku, di airmatanya
yang kuartikan bukan kesedihan karena ada senyum selengkung menggantung rendah.
Ibu mengambil sebuah album usang
berwarna biru, ia buka dan diperlihatkan padaku. Aku terkejut ketika melihat
beberapa aritikel, cerpen, dan banyak puisi bekas guntingan dari koran lama di
album itu. Terkejut karena ternyata itu adalah karya tulis ibu. Banyak sekali
puisinya tertera namaku di bawah judulnya. Aku sama sekali tak pernah tahu,
hobi menulisku ternyata diturunkan dari ibu.
“Ibu
sebenarnya tak pernah melarang kau jadi penulis. Malah ibu senang sesekali
curi-curi baca puisimu. Tapi, ibu ingin kau menjadi perempuan hebat melampaui
ibu yang dulu hanya menjadi seorang penulis. Ibu tahu hebat sesungguhnya tak
tergantung dari apa profesimu. Tapi, dari keinginan besarmu untuk jadi hebat.
Jadilah penulis hebat seperti impianmu, seperti nama yang ibu berikan padamu.
Kawi, seorang penyair..”
Aku
mencium pipi ibu. Kuinginkan ciumanku seperti yang selalu ibu lakukan,
menyampaikan kata yang tak ingin disuratkan lidah.
Kawi.
Seorang pujangga. Ibu sungguh memberiku nama yang tercantik, seperti mauku. Tak pernah lagi nama itu kuanggap aneh,
ibu..
*
Besok
hari ulangtahun ibu. Kutahu sesukaan ibu adalah kue barongko (kue bugis) dan
karena ibu suka warna hijau aku memberikannya selendang, dulu. itu dulu ketika
aku masih SMP. Aku membuatkan ibu kue barongko dengan dibantu tanteku—atau
mungkin kebalikannya. Aku sama sekali tak pintar masak apalagi membuat kue.
Tanteku membuatkan kue barongko untuk ibu lalu aku membantunya melakukan
hal-hal kecil. Aku memberikan kue barongko dan selendang hijau hasil celenganku
selama enam bulan pada ibu di pagi hari ulangtahunnya. Itu adalah pertama kali
aku merayakan ulangtahun ibu. Sungguh miris aku mengakui itu juga terakhir
kalinya selama aku hidup.
Aku
ingin memberikan ibu sebuah kado istimewa. Hal yang seperti ibu. Ibuku yang
ialah puisi. Aku menerbitkan puisi ini dengan ada nama ibu di bawah judulnya.
Ibuku
Ialah Puisi
-dian
herlina
/1/
Sewaktu-waktu aku lelah dengan kau, puisi..
Kubayangkan kau hanya terbuat dari
tinta-tinta dan rangkaian huruf mungil yang dipasang-pasangkan menjadi kata
berserak, lalu dibaringkan pelan-pelan di seutas kertas. Tempat terbaik aku
mencumbumu.
Dan akan lahir selarik puisi bernas. Hasil
buah cinta aku dan pepatah kata.
Kau tak semudah mauku, sungguh..
Tetapi, ada puisi tanpa perlu susah payah kuisi.
Tiap detik kata-katanya mengalir tanpa perlu dibaringkan di kertas lusuh.
Selalu mengalir mencari kuala yang adalah aku.
Ia, puisi yang tak lelah. Sekalipun kadang
aku lelah mengungkapnya ; ibu.
/2/
Mauku : menjadi puisi yang ibu tulis. Agar
ada senyum kutatap mungkin airmata jua, di mata sayu yang tak mau layu, meski
hati ibu kubuat sedingin salju..
Tapi, aku terlalu lemah untuk jadi puisi kau.
Sebab ibu selalu membunuh aku dengan airmata bahkan senyum kau sekalipun tak
cukup kuat kutanggung debar-debar melebihi suara jantungku.
/3/
Jika kau mau : ajari aku seperti puisi.
Kelak aku akan mati. Menjadi puisi yang
abadi.
Ibu, aku tak pernah lelah menulis puisi..
Puisi, aku belum sekali hidupku, ibuku
kubalas kasih..
*
“untuk ibu dan semua orang yang kusayangi
yang juga adalah orang yang menyayangiku,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pedas-pedas menggelitik