Powered By Blogger

Minggu, 24 November 2013

IBUKU IALAH PUISI





(Alhamdulillah cerpen ini masuk karya favorite kategori C, semoga ke depannya bisa ;lebih baik)
Entah mengapa puisi selalu mengingatkan aku dengan ibuku. Saat membaca apalagi menulis puisi, aku selalu merindukan perempuan bernama ibu. Puisi adalah rumah bagi kata-kata asing dari hatiku yang ingin berbagi kehangatan : ibu adalah rumah tanpa sekat dinding, ketulusan adalah dinding pelindung terbaik untuk anaknya. Pelukan adalah pintu tanpa penutup, kapan saja aku boleh masuk kesana. Tetapi, aku penghuni yang kadang lupa jalan pulang.
“Hal berharga tak akan pernah terasa begitu berharga bagimu sebelum kau kehilangannya,” itu kutipan kata ibu yang memantul-mantul di dinding hatiku kala kesedihan menjadi tamu hatiku yang menciptakan kekosongan.
Ibuku mengucapkan kalimat pendek itu ketika seorang yang amat kucintai bukanlah lagi orang yang mencintaiku karena satu alasan dan beberapa hal yang adalah kesalahanku dan itu cukup masuk akal.
Kuharap tak akan pernah mengalami kehilangan seperti itu lagi dan meratapi betapa berharganya yang hilang dariku. Tidak lagi. Tapi, ternyata suatu hari aku menyadari. Betapa rumah tanpa ibu bukanlah rumah layak huni.
*
          Sudah berapa lama kau mengenal ibumu?
          Itu adalah pertanyaan yang selalu kulontarkan pada diriku sendiri. Setiap saat, terutama ketika aku merasa benar-benar tak memahami ibu. Ia orang yang sulit kumengerti dan kadang-bahkan sering-aku merasa ia tak pernah mau mengerti aku. Ia selalu bilang aku egois. Dalam hati aku juga menggerutu betapa egoisnya ibu.
          Ada perbedaan yang begitu bertolak belakang antara aku dan ibu yang menjadi asal-muasal mengapa kami kadang sering perang mulut :
Pertama, Ibuku adalah perempuan yang sangat superduber perfeksionis. Aku? Selalu santai dan membiarkan semuanya berjalan apa adanya. Untuk apa merencanakan semuanya secara ketat? Jika beberapa keluar dari lajur rencana hanya akan menambah beban stres. Sering kali aku melontarkan pendapatku itu, tetapi sering kali juga ibu balas berucap,”Setidaknya kita sudah berusaha menempatkan semuanya sesuai rencana. Jika beberapa rencana tidak sesuai itu hal lain. Harusnya kau berusaha dengan baik merencanakan segala hal, Kawi.. mulai dari kau bangun tidur sampai kau tidur kembali. Harus ada jadwal rutinitas yang jelas, dan bla bla blabla..” aku selalu sakit kepala saat ibu memulai ocehannya yang tak tahu akan selesai kapan. Yang kutahu ibu akan selesai bicara setelah mood-ku benar-benar runyam. Kupingku sudah kusiapkan penyumbat otomatis, tapi kadangkala itu percuma saja.
Kedua, Ibuku adalah perempuan petugas kebersihan yang sangat paling rajin yang kutahu. Aku? Aku kebanyakan masa bodoh dengan hal-hal kecil seperti perihal kebersihan. Aku tidak pernah menentukan dimana aku harus meletakkan tumpukan kertas final test-ku agar terjangkau jika suatu waktu aku butuhkan kembali. Aku juga tak pernah ‘membeda-bedakan’ letak buku pelajaran dan novel-novelku. Semuanya aku setarakan-aku simpan berdasarkan dimana tanganku menjangkau tempat. Menurutku masih banyak hal penting yang perlu aku lakukan selain hanya merapikan buku, menata kamar dan rumah atau mengintai debu di kamarku. Namun, ibu tak pernah sepemikiran dengan pikiranku. Jalan pikiran kami ibarat persimpangan, bercabang-cabang dan jarang sekali bertemu. Jika pun bertemu, cepat atau lambat akan kembali berpotongan.
 Ibuku  selalu setia mengingatkan aku-atau lebih tepatnya memarahiku-karena kondisi kamarku yang menurutnya jauh dari kondisi kamar anak gadis. Setiap kali ibuku bercoloteh seperti itu, aku meringis dalam hati : mengapa Tuhan aku bukan laki-laki saja? Tapi sungguh aku sudah banyak mengeluh dan sangat malu pada Tuhan.
Aku jadi berpikir tentang watak kami yang jauh berseberangan. Ibuku dengan gaya suaranya yang khas selalu mengatai sifatku yang slebor tak jauh beda dengan seorang lelaki yang dulu pernah jadi suaminya lima tahun lalu. Ya, ayahku. Ibu selalu menyama-nyamai aku dengan sifat ayah. Jadi, aku cukup paham mengapa ibu dan ayah semestinya titik sampai disitu-lebih baik begitu. Dan aku tak pernah menanyakan perihal yang mereka selisihkan. Kurasa sudah cukup jelas. Meskipun begitu aku selalu berandai : Walaupun mereka memiliki banyak perbedaan, namun jika saja keduanya tak memiliki kesamaan yaitu sama-sama egois, mungkin.. yah.. perceraian itu tidak akan pernah jadi pilihan yang baik.
Sama seperti ayah dan ibu. Aku dan ibu juga memiliki persamaan yang menguatkan perbedaan diantara kami : sama-sama keras kepala. Ibu dan aku sama-sama berdiri pada posisi yang benar dan tak satupun diantara kami yang ingin menggeser posisi itu. Sungguh lengkaplah semuanya!
*
“KAWIII…!!”
Yah, aku tahu itu namaku. Kawi-nama yang kuanggap aneh, tapi tak pernah sekalipun aku bertanya apa arti dua suku kata itu. Kawi Effendi adalah nama pemberian ibu. Ibu sendiri yang pernah mengatakannya tanpa aku tanya. Aku mengerti nama effendi diambil dari nama ayahku, tetapi Kawi masih jadi misteri. Aku memang tak terlalu ingin mempertanyakan hal-hal kecil seperti seutas arti nama itu walau kadang hati kecilku cukup penasaran.
“KAWIII…!”
Suara itu terdengar melengking dari panggilan pertama. Aku berada dalam kamar dengan pintu tertutup rapat, tetapi suara itu masih bisa menembus indera pendengaranku yang sangat membutuhkan hening paling tidak beberapa jam ke depan. Tapi, suara itu mengusir semua keheningan dan mengundang banyak kebisingan. Sebelum suara itu kembali memekik, aku putuskan menutup laptop dan bergegas keluar kamar menuju gudang di lantai dua-tempat ibuku berdiri dengan mengenakan daster panjang khas seragam kebersihannya.
“Kawi,  kamu ini dipanggil-panggil susah amat! Lihat, ibu lagi repot.. bantu ibu bereskan kardus-kardus ini!”
Aku menarik nafas panjang sekali sebelum berkata,”Ibu, dua minggu lalu gudangnya kan udah dibereskan. Kenapa harus dibereskan lagi?” aku bersungut kesal.
“Lantai gudangnya sudah mulai kotor. Kardus-kardus buku lamamu kemarin kamu taruh sembarangan. Ya, jelas harus dirapikan lagi..”
“Ibu, gudang memang tempat menyimpan barang bekas, nggak harus sebersih ruang tamu kita, bu..” ucapku.
Ibu tak menanggapi. Ia sibuk meletakkan beberapa kardus dan menyisir beberapa sarang laba-laba yang tak pernah jera berada di sudut ruang kecil itu. aku menggigit kuncup bibirku dengan harapan sore ini aku bisa menyelesaikan beberapa tulisan serta puisi-puisiku yang jauh dari rampung dan bukannya membersihkan gudang. Puisi-puisiku dan tulisan itu sangat penting, belum lagi aku harus dikejar waktu menyelesaikan skripsi yang tinggal membutuhkan polesan. Sedikit lagi aku akan jadi sarjana. Sebentar lagi aku akan jadi penulis sungguhan.
“Ibu, kumohon.. ada yang harus benar-benar aku selesaikan sore ini. Tidak bisakah bersih-bersih gudangnya ditunda dulu?” aku memelas dengan wajah sedikit memaksa.
“Menunda-nunda pekerjaan bukan hal yang baik, Kawi. Lekas ambil sapu! Setelah ibu menyingkirkan semua kardus ini, kamu sapu lantainya, ya.. sebentar malam masih ada waktu untuk menyelesaikan pekerjaanmu. Apa salahnya kamu membantu ibu dulu?”
Bahuku mengendur. Dan akhirnya aku harus membuat beberapa puisiku menunggu lagi.
Ibu sendiri yang bilang menunda-nunda adalah pekerjaan yang buruk. Lalu mengapa ia menyuruh aku menunda puisi-puisiku dan skripsi yang terus-menerus memanggil-manggil aku di dalam kepalaku? Ah.. ibu. Tidak bisakah sejenak engkau membantu aku dengan menunda melakukan hal kecil seperti ini saat aku sedang memburu waktu? Waktu terus berjalan semakin jauh, dan aku tidak yakin bisa mengejarnya sebentar malam dan melihat beberapa puisi serta artikelku rampung dalam waktu singkat. Tidak sama sekali, ibu..
Mungkin aku harus melupakan lomba menulis itu yang tinggal dua hari lagi..
*
Akhir yang indah. Kusebut hari ini adalah akhir yang indah bagiku sebagai mahasiswa ekonomi di sebuah universitas ternama di kotaku. Setahun lebih aku berjuang menyelesaikan skripsiku dengan peluh, airmata, dan berjuta kesabaran menerima kritikan dosen pembimbingku yang aku pikir sengaja membuatku lebih lama berkutat dengan skripsi ini. Sungguh, dalam hati aku sangat meminta maaf kepada dua dosenku yang sesungguhnya sangat berjasa karena aku sempat berpikiran buruk seperti itu. Dan untuk ibuku. Sudah lama ia menanti aku memperlihatkan hasil skripsiku dan memajang fotoku dengan memakai toga. Dan sudah lama pula ia menceramahiku karena lima tahun betah menjadi mahasiswa. Aku sungguh berterimakasih kepada ibu. Diam-diam pasti ia selalu mendo’akanku dalam shalatnya dan sebelum ia tidur. Bu, Aku sudah sarjana..
Mendapat gelar Sarjana Ekonomi adalah hal yang cukup membanggakan. Namun, jika aku beritahu pada ibu aku ingin melamar di sebuah perusahaan penerbitan majalah yang sudah beberapa kali menerbitkan tulisanku dan bukannya melamar di perusahaan yang membutuhkan akuntan atau di sebuah bank, apakah.. apakah ibu akan berlapang dada menerima keputusanku ini? Apakah ibu akan menerima jika anak semata wayangnya yang ia inginkan jadi seorang pengusaha mapan atau paling tidak wanita karir sukses, bercita-cita menjadi seorang penulis?
Aku tahu, harusnya dari awal lebih berani mengutarakan mimpiku menjadi penulis dan penyair ternama seperti Sapardi Djoko Damomo atau Ernest Hemingway. Harusnya dari awal aku mengatakan tertarik dengan jurusan sastra. Bukannya asal mengikuti alur yang dirancang ibu dan membenarkan pemikiran sempit orang-orang jika lulusan jurusan sastra akan sulit menembus lowongan kerja nantinya. Akhir yang indah ini bukan waktu yang tepat untuk merenungi penyesalanku.
*
“Kawi, kau ini sudah sarjana masih saja belum bisa mengubah kebiasaan burukmu! Lihat kertas berserakan di meja belajarmu itu.. apa bisa kamu belajar dengan kondisi seperti itu?”
“Bu, yang belajar kan, aku.. ibu tidak usah terlalu memusingi kondisi kamarku. Kalau berantakan menurut ibu, ibu pura-pura tidak tahu saja..” ucapku. Mataku tidak menengok kearah ibu, sibuk memandangi layar laptop.
“Ini bukan soal memusingi kondisi kamarmu. Ibu ingin mengajari kau rapi dan disiplin mengerjakan sesuatu walaupun itu hal kecil. Pekerjaan besar dimulai dari hal kecil. Bagaimana nanti jika kamu sudah terjun ke dunia kerja? Kalau sifat tidak teraturmu itu dipelihara, akan banyak pekerjaanmu yang terbengkalai.. atasanmu pasti akan memarahimu lebih dari ibu bahkan memecatmu. Ibu sudah lebih dulu makan garam..”
Aku mengangguk isyarat mengerti atau tanda masa bodoh. Sejujurnya aku tak benar-benar menyimak apa yang baru saja ibu katakan.
“Kawi, kau mengerti atau tidak?!”
Itu sebuah pertanyaan yang menjelma menjadi bentakan.
Jari-jariku berhenti sejenak di atas keyboard. Kupalingkan wajahku kearah ibu,”Iya.. iya ibu.. aku mengerti..”
“Kalau begitu lekas bereskan kamarmu sampai benar-benar rapi. Pisahkan buku pelajaran dan buku novelmu yang kurang penting. Saat ibu kembali kamarmu sudah harus rapi. Mengerti?”
“Ya, ibu. Akan aku lakukan jika semua tulisanku sudah selesai.”
“Sekarang, Kawi! Kalau kamu tidak suka aturan ibu, silahkan tinggal di tempat ayahmu!”
Aku bungkam. Entah kenapa ancaman ibu itu selalu terdengar mengerikan bagiku. Walaupun di rumah ayah aku mungkin akan bebas mengatur kemauanku sendiri, tetapi tinggal bersama ayah akan jauh terasa berbeda. Tidak akan ada yang membuatkan sarapan kesukaanku setiap pagi. Ibu punya senjata pamungkas yang bisa memotong lidahku untuk menyanggahnya (lagi).
*
“Ibu, aku diterima sebuah perusahaan penerbitan majalah sebagai editor dan sekaligus aku akan jadi penulis tetap,” aku mengucapkan kalimat itu dengan satu tarikan nafas.
Ibu diam cukup lama. Hening diisi dengan matanya yang lurus menatap wajahku setengah merunduk. Aku tak yakin ibu menyukai keputusanku ini. Matanya yang sayu seperti mata pisau, membuat hatiku mendadak was-was.
Seusai kelulusan SMA dulu, ibu mengutarakan keinginannya agar aku bisa jadi kebanggannya. Ia ingin aku jadi seorang wanita yang cerdas. Awalnya ia ingin aku jadi seorang dokter seperti sepupuku yang lima tahun lebih tua dariku, tapi kepintaranku tak cukup menjangkau cita-cita ibu dan aku sama sekali bukan orang yang sering beruntung dalam ujian. Akhirnya pilihan kedua ibu menginginkan aku menjadi seorang wanita yang bisa kerja di sebuah perusahaan besar. Kalau perlu keluar negeri dan bekerja di perusahaan asing-seperti sepupuku juga yang tiga tahun lebih tua dariku dan sukses mendapat beasiswa kuliah diluar negeri. Entah mengapa aku merasa ibu menjadikan aku obsesinya. Obsesi yang masa mudanya dulu tak ia raih. Ibu tak pernah sama sekali menanyakan apa keinginan besarku selama ini.
Aku bisa mendengar kerongkongan ibu yang terasa berat saat menarik nafas,”Ibu sepertinya tak berhak menghalangi jalanmu, nak.. meskipun ibu ingin kau lebih dari itu. Tapi,  jika kau yakin dengan pilihanmu, lakukanlah!”
Aku mengangkat wajah. Cukup terkejut dengan pernyataan ibu. Masih ada yang ingin aku utarakan padanya, tetapi lidahku terasa keluh. hatiku sibuk menimbang-nimbang kalimat yang ingin aku ucapkan.
“Bu..” aku menelan ludah.
“Aku berencana akan tinggal di sebuah rumah kos yang cukup dekat dari tempatku bekerja nanti, apa ibu keberatan aku tinggal sendiri?”
Ibu kembali berbicara dengan mata, kali ini senyumnya ikut menyiratkan jawaban. Ibu masih tersenyum. Lama sekali..
*
Alasanku ingin tinggal jauh dari ibu adalah ingin membuktikan padanya jika aku bisa mandiri dan aku pun bisa mengatur hidupku dengan caraku. Seminggu menetap di kota jauh dari letak rumahku di kabupaten perbatasan kota dan tinggal sendiri di sebuah kamar yang lebih sempit dari kamar lamaku, semuanya terasa begitu mudah bagiku. Tak ada halangan yang cukup membuatku pusing seperti yang ibu katakan sebelum aku pindah : Ingat, nanti kamarmu jangan seperti kapal pecah. Sekarang kau sudah bekerja, kau harus disiplin mulai dari dirimu sendiri. Kalau tidak, semuanya akan kacau. Itu menurut ibu. Tetapi, mau seacak apapun kamarku saat ini, tak ada ibu yang akan mengusikku. Aku bebas mengatur semuanya, semauku. Begitu pikirku.
Namun, tak sampai tiga minggu kerikil kecil namun tajam mulai menghalangi jalanku-yang awalnya aku pikir akan berjalan mulus lebih lama dari kenyataan. Suatu pagi cerah seharusnya menjadi pagi yang baik hati, menjadi pagi yang terlalu panas untukku. Mungkin hanya untukku. Aku tertunduk lesu di ruang atasanku dengan mulut tertutup rapat. Pikiran kalutku menenggelamkan kunci kata yang harusnya bisa membuka mulutku saat dimarahi seperti ini. Seperti saat ibu memarahiku karena keteledoranku. Aku punya banyak sekali kata untuk menyangkal.
Hari ini aku melakukan kesalahan. Tidak satu kesalahan, tapi dua. Sungguh kesalahan fatal untuk karyawan baru seperti aku. Pertama, Aku menghilangkan beberapa berkas yang harus kuserahkan. Entah kuhilangkan atau hanya tercecer di tumpukan bukuku, seingatku kemarin berkas itu masih utuh di laciku. Namun, setelah aku mencarinya semalaman, berkas itu tidak ada di sana lagi. Kedua, akibat mencari berkas penting semalaman, tulisan yang harus aku edit dan desain untuk penerbitan minggu ini tak jadi rampung. Untunglah aku masih sempat menuntaskan puisiku. Kalau tidak kesalahanku bertambah tiga.
 “Kau ini masih baru tapi sudah tidak displin seperti ini! Aku kan sudah bilang ke kamu, itu berkas penting! Bagaimana bisa kamu hilangkan?”
Bibirku bergetar. Bercampur aduk antara gugup dan menahan airmata. Ada suara yang tahu-tahu merajai benakku. Semakin mebuatku gila.
Pekerjaan besar dimulai dari hal kecil. Bagaimana nanti jika kau sudah terjun ke dunia kerja? Kalau sifat tidak teraturmu itu dipelihara akan banyak pekerjaanmu yang terbengkalai.. atasanmu pasti akan memarahimu lebih dari ibu. Kalimat omelan ibu sesak di kepalaku. Semakin menambah perasaan bersalah yang sulit aku akui.
“Akan kucari lagi, pak.. mungkin tidak hilang. Hanya terselip di tumpukan buku. Tapi, semalam saya sulit menemukannya..” akhirnya aku mengeluarkan suara dengan sangat nekat meski terbata.
Pak Robi, atasanku itu geleng-geleng kepala sambil melepas kacamatanya. Seakan benar-benar frustasi. Sebenarnya ia adalah orang yang penyabar dan murah senyum seperti seorang ayah. Tapi, aku sangat berani menguji kesabarannya. Kuharap ia masih menjadi orang penyabar seperti yang kukenal dan keputusan akhirnya adalah memaafkanku.
“Kawi..”
Aku mengangkat kepala menatapnya ragu-ragu.
“Kesalahanmu ini cukup besar, apalagi kau tidak menyelesaikan tanggung jawabmu sebagai editor. Aku tidak tahu harus memberimu kesempatan atau..”
Aku tak sadar saat itu aku memandanginya dengan mata kaca yang rapuh. Hatinya mungkin luruh.
“Aku memberimu kesempatan. Asal kau harus bisa diandalkan. Memegang tanggung jawabmu dengan sungguh-sungguh. Dan, yang tak kalah penting kau harus disiplin. Ingat?”
Aku mengusap ekor mataku. Anggukanku lesu. Ini benar-benar hari yang panas. Terlalu panas sampai air di rongga dadaku mendidih.
*
Ibu, aku hampir saja kehilangan pekerjaan ini.. seperti kata ibu seringkali kesalahan diri sendiri yang membuat kita kehilangan yang kita punya. Maaf.. sungguh, maaf
*
          Aku pulang. Kakiku merindukan jalan pulang. Hatiku diisi kekosongan dan kekosongan memintaku mengisinya dengan pelukan ibu juga satu kata maaf—barangkali membutuhkan lebih banyak dari satu. Ibu, aku pulang ketika aku lihat ibu duduk tercenung di halaman rumah seperti hendak menyambut atau menantiku selama ini.
          Aku memandanginya tak jauh dari tempat ia berdiri yang juga sedang memandangiku dengan senyum dan ada airmata bersembunyi disana. Aku pulang ke rumah yang selalu menantiku, tapi kadang aku tersesat di dalam diriku sendiri.
          Aku masuk kedalam pintu yang tak pernah tertutup apalagi terkunci. Kubiarkan hatiku menyesap kekosongan, kubiarkan kekosongan penuh dengan pelukan ibu. Hingga kekosongan itu tinggal setengah, lalu kuisi lagi dengan tiga kata :
          “ibu, maafkan aku..” aku selalu mengutarakan maksudku dengan lidah. Tapi ibu seperti puisi, kalimat itu ada di belaian tangannya yang mengusap rambutku, di airmatanya yang kuartikan bukan kesedihan karena ada senyum selengkung menggantung rendah.
        Ibu mengambil sebuah album usang berwarna biru, ia buka dan diperlihatkan padaku. Aku terkejut ketika melihat beberapa aritikel, cerpen, dan banyak puisi bekas guntingan dari koran lama di album itu. Terkejut karena ternyata itu adalah karya tulis ibu. Banyak sekali puisinya tertera namaku di bawah judulnya. Aku sama sekali tak pernah tahu, hobi menulisku ternyata diturunkan dari ibu.
          “Ibu sebenarnya tak pernah melarang kau jadi penulis. Malah ibu senang sesekali curi-curi baca puisimu. Tapi, ibu ingin kau menjadi perempuan hebat melampaui ibu yang dulu hanya menjadi seorang penulis. Ibu tahu hebat sesungguhnya tak tergantung dari apa profesimu. Tapi, dari keinginan besarmu untuk jadi hebat. Jadilah penulis hebat seperti impianmu, seperti nama yang ibu berikan padamu. Kawi, seorang penyair..”
          Aku mencium pipi ibu. Kuinginkan ciumanku seperti yang selalu ibu lakukan, menyampaikan kata yang tak ingin disuratkan lidah.
          Kawi. Seorang pujangga. Ibu sungguh memberiku nama yang tercantik, seperti mauku. Tak pernah lagi nama itu kuanggap aneh, ibu..­­
*
          Besok hari ulangtahun ibu. Kutahu sesukaan ibu adalah kue barongko (kue bugis) dan karena ibu suka warna hijau aku memberikannya selendang, dulu. itu dulu ketika aku masih SMP. Aku membuatkan ibu kue barongko dengan dibantu tanteku—atau mungkin kebalikannya. Aku sama sekali tak pintar masak apalagi membuat kue. Tanteku membuatkan kue barongko untuk ibu lalu aku membantunya melakukan hal-hal kecil. Aku memberikan kue barongko dan selendang hijau hasil celenganku selama enam bulan pada ibu di pagi hari ulangtahunnya. Itu adalah pertama kali aku merayakan ulangtahun ibu. Sungguh miris aku mengakui itu juga terakhir kalinya selama aku hidup.
          Aku ingin memberikan ibu sebuah kado istimewa. Hal yang seperti ibu. Ibuku yang ialah puisi. Aku menerbitkan puisi ini dengan ada nama ibu di bawah judulnya.
Ibuku Ialah Puisi
-dian herlina
/1/
Sewaktu-waktu aku lelah dengan kau, puisi..
Kubayangkan kau hanya terbuat dari tinta-tinta dan rangkaian huruf mungil yang dipasang-pasangkan menjadi kata berserak, lalu dibaringkan pelan-pelan di seutas kertas. Tempat terbaik aku mencumbumu.
Dan akan lahir selarik puisi bernas. Hasil buah cinta aku dan pepatah kata.
Kau tak semudah mauku, sungguh..
Tetapi, ada puisi tanpa perlu susah payah kuisi. Tiap detik kata-katanya mengalir tanpa perlu dibaringkan di kertas lusuh. Selalu mengalir mencari kuala yang adalah aku.
Ia, puisi yang tak lelah. Sekalipun kadang aku lelah mengungkapnya ; ibu.
/2/
Mauku : menjadi puisi yang ibu tulis. Agar ada senyum kutatap mungkin airmata jua, di mata sayu yang tak mau layu, meski hati ibu kubuat sedingin salju..
Tapi, aku terlalu lemah untuk jadi puisi kau. Sebab ibu selalu membunuh aku dengan airmata bahkan senyum kau sekalipun tak cukup kuat kutanggung debar-debar melebihi suara jantungku.
/3/
Jika kau mau : ajari aku seperti puisi.
Kelak aku akan mati. Menjadi puisi yang abadi.

Ibu, aku tak pernah lelah menulis puisi..
Puisi, aku belum sekali hidupku, ibuku kubalas kasih..
*
“untuk ibu dan semua orang yang kusayangi yang juga adalah orang yang menyayangiku,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pedas-pedas menggelitik