Ziwei tidak pernah tahu apa yang di dalam benaknya. Semua
yang ia pertontonkan perihal dirinya secerdas mungkin ia sinkronkan dengan
kondisinya yang serba ideal. Semenjak berusia belia, prefrontal korteks di
ubun-ubunnya mulai bekerja atraktif, menerjemahkan keadaannya dengan
visualisasi yang selaras kenampakan. Ziwei adalah seorang juita berdarah
aristokrat yang sepatutnya memiliki telatah yang sepantaran dengan orang-orang
demikian. Takdir—atau entah apa itu yang sulit untuk dijamah dan sering kali
jadi kambing hitam—menempatkan dirinya dalam posisi yang amat menyenangkan.
Siapa yang tidak ingin duduk di atas hirarki paling tinggi dalam kasta takdir?
Dan Ziwei dari usia belia terus berusaha memahami perkembangan perannya sebagai
tuan puteri. Tuan puteri harus melulu ceria. Orang yang sempurna tidak boleh
memiliki masalah. Tidak ada masalah yang begitu berarti seharusnya di dunia yang tinggal tunjuk langsung ada. Fantastis.
Satu kata yang harus menjadi predikat dalam kepribadian dan segenap tentang
dirinya. Ia mencoba membangun itu. hanya terus berusaha membangun, meski
konstruksi itu tidak pernah selesai. Ziwei ibarat buah mentah yang dipetik jauh
hari sebelum mengkal. Lantas, diperam paksa agar lekas ranum.
"Nona Ziwei, Limo telah siap mengantar Anda,"
perempuan itu seumuran dengannya. Hanya pakaiannya saja yang mengisyaratkan
jika kelas mereka sangat berbeda. Kalimat yang keluar dari mulutnya telah
terlatih. Setiap kali berbicara dengan Ziwei, perempuan itu harus menggunakan
dialek seolah berbicara dengan orang tua yang jauh di atas usianya.
Namanya Yinchyin. Pelayan pribadi Ziwei. Bagi Ziwei,
Yinchyim teman terdekatnya. Namun, belakangan ia cemburu pada Yinchyin. Ia
heran karena diperhatikannya watak Yinchyin ternyata jauh lebih menarik dari
pada dirinya. Yinchyin bisa gembira meski ia bukan seorang tuan Puteri.
Yinchyin bisa cantik meski cuma senyum jadi riasan wajahnya. Dan yang membuat
Ziwei takjub Yinchyin tidak pernah mau jadi
puteri. Mendadak batin Ziwei menggerutu. Ia ingin sekali dirinya adalah
Yinchyin.
Petang ini Ziwei akan menyambangi pondok asuh di sebuah
kawasan yang jauh letak dan kondisinya dari puri yang ia huni. Ia harus
terlibat dalam permainan impresi untuk tetap mempertahankan kedudukannya
sebagai priyayi yang penuh empati.
Memasuki barung-barung tua itu, anak-anak disana telah
dipandu agar kompak bersikap manis menyambut tamu agung.
"Bagaimana kabar kalian?" Ziwei bertanya untuk
mereka dan lebih untuk dirinya.
Serempak menjawab,"Hao.."
seraya teriakan ricuh ala anak-anak dukuh.
Ziwei pun memulai prosesi.
Membagi-bagikan kebutuhan primer sampai sekunder. Memproklamirkan akan mengutus
beberapa pengajar untuk anak-anak disana. Dan terakhir makan bersama.
Menyenangkan sekalipun Ziwei harus terus menyetel senyum duplikatnya. Ziwei
terngiang senyum Yinchyin. Seorang anak bernama Yan xhu dengan mata bulat terus
melototinya. Ziwei menyadari itu. barangkali gadis kecil itu terlalu malu untuk
menegurnya. Maka, Ziwei berbaik hati mengelus rambut perempuan cilik itu,
menyapanya duluan.
"Nihao, piaoliang.. nama kamu Yan xu, bukan?"Si anak akhirnya
mengangguk ragu setelah lama bengong dan hanya menatap lurus wajah Ziwei.
"Apa Anda seorang Puteri?"
akhirnya anak pipi tembem itu bersuara.
Ziwei tergelak. Kehidupannya memang
bagai seorang puteri dongeng klasik ala tradisi barat. Sekalipun gelar itu
tidak disandangnya secara resmi.
"Ya, apa aku terlihat demikian?
Kau ingin jadi seorang puteri?" Ziwei balik bertanya polos.
"Shi de.. aku mau! Tapi, aku
mau jadi puteri di langit.." Yan Xhu menunjuk langit-langit pondoknya yang
nyaris ambruk.
"Puteri di langit? Memangnya
ada?"
Seketika tatapan mata sipitnya yang
cenderung bulat menyirat tatapan menyindir,"Tentu saja ada! Seharusnya
tuan Puteri tahu itu.."
"Aku belum pernah dengar, piaoliang.."
Yan xhu mendekatkan wajahnya ke
sebelah kuping Ziwei. Berbisik, tapi suaranya tidak merendah,"Ibuku
sebelum pergi ke langit, pernah berpesan.. aku harus mencintai semua yang aku
punya, apapun itu. Mencintai diri sendiri, biarpun aku dieejek anak
gembel."
Sontak Ziwei terempas ke dalam
pusaran akalnya. Perkataan seorang anak kecil menggiringnya memasuki zona
tergelap dimana ia sangat phobia dengan kegelapan di sana. mencintai semuanya.
Apapun itu. Diri sendiri yang telah terjalnjur ia bunuh, lantas Ziwei hidup
entah sebagai siapa. Ia dihantui setiap saat akibat membunuh dirinya dalam
sel-sel otaknya. Ziwei phobia dengan dirinya sendiri, mencoba menciptakan
seseorang yang ia sukai di dalam ruhnya.
"Dengan begitu, aku kelak akan
benar-benar bahagia. Ketika di langit aku akan menemukan diriku yang sejati.
Sebagai seorang puteri, abadi," lanjut Yan Xhu antusias,"begitu kata
ibuku, Puteri.."
**
Akhir-akhir ini Ziwei berubah total.
Tidak seperiang biasanya. Tidak seagresif dan tidak pula ramah. Ziwei terus
mengurung diri di kamar. Menatap langit. Sesekali ia bepergian dan tiap kali
ditanya mau kemana, Ziwei menjawab hambar,"aku mau menemukan langit. Di
bumi aku tidak menemukan diriku." Yinchyin dibuat pusing dengan ulah
Ziwei. Namun, ia tetap dengan tulus menanggapi semua omongan tuannya yang tak
ia mengerti dengan senyum. "Barangkali Anda bisa bertanya pada laut.
Dimana jalan menuju langit," senja itu Yinchyin menemai Ziwei membuang
penat di pesisir pantai yang sunyi. Lagi-lagi tuannya bercuap aneh. Yinchyin
berusaha mengikuti jalan pikiran Ziwei dengan tanggapan yang sama anehnya. Ziwei
tertegun. Kali ini matanya berpindah sorot. Ia menebar jala tatapnya ke penjuru
pantai. Kemudian, mulai melangkah lamat-lamat di bibir pesisir. Beberapa langkah,
air masih setinggi pinggangnya. Yinchyin membiarkan nonanya bermain air.
Mungkin saja Ziwei sudah melewati ambang batas kejenuhan dan butuh waktu
santai.
Senja semakin surut. Dan langit
warna merah darah. Kaki Ziwei yang jenjang tidak menapak dasar pantai lagi. Ia
sudah berada di tengah laut antara bibir pantai dan batas horizon.
"Nona! Nonaaaa…!" Yinchyin
berurai air mata, saat sadar ia lengah mengamati Ziwei yang sengaja membiarkan
tubuhnya di ajak ombak. Yinchyin menyesal dengan ucapannya beberapa jenak lalu
perihal laut. Tidak ada langit di laut,
Ziwei. Laut hanya menyimpan delusi langit.
Zai
jian, Zewei. Entah kehidupan langit seperti apa yang ia temu di dasar laut.
Apakah Ziwei telah menemukan wajahNya yang sejati? Dia hanya perempuan kuat yang
tidak berani dan tidak yakin akan diriNya.