Powered By Blogger

Jumat, 03 Oktober 2014

LEGENDA PUTERI ZIWEI




           

          Ziwei tidak pernah tahu apa yang di dalam benaknya. Semua yang ia pertontonkan perihal dirinya secerdas mungkin ia sinkronkan dengan kondisinya yang serba ideal. Semenjak berusia belia, prefrontal korteks di ubun-ubunnya mulai bekerja atraktif, menerjemahkan keadaannya dengan visualisasi yang selaras kenampakan. Ziwei adalah seorang juita berdarah aristokrat yang sepatutnya memiliki telatah yang sepantaran dengan orang-orang demikian. Takdir—atau entah apa itu yang sulit untuk dijamah dan sering kali jadi kambing hitam—menempatkan dirinya dalam posisi yang amat menyenangkan. Siapa yang tidak ingin duduk di atas hirarki paling tinggi dalam kasta takdir? Dan Ziwei dari usia belia terus berusaha memahami perkembangan perannya sebagai tuan puteri. Tuan puteri harus melulu ceria. Orang yang sempurna tidak boleh memiliki masalah. Tidak ada masalah yang begitu berarti seharusnya di dunia yang tinggal tunjuk langsung ada. Fantastis. Satu kata yang harus menjadi predikat dalam kepribadian dan segenap tentang dirinya. Ia mencoba membangun itu. hanya terus berusaha membangun, meski konstruksi itu tidak pernah selesai. Ziwei ibarat buah mentah yang dipetik jauh hari sebelum mengkal. Lantas, diperam paksa agar lekas ranum.
            "Nona Ziwei, Limo telah siap mengantar Anda," perempuan itu seumuran dengannya. Hanya pakaiannya saja yang mengisyaratkan jika kelas mereka sangat berbeda. Kalimat yang keluar dari mulutnya telah terlatih. Setiap kali berbicara dengan Ziwei, perempuan itu harus menggunakan dialek seolah berbicara dengan orang tua yang jauh di atas usianya.
            Namanya Yinchyin. Pelayan pribadi Ziwei. Bagi Ziwei, Yinchyim teman terdekatnya. Namun, belakangan ia cemburu pada Yinchyin. Ia heran karena diperhatikannya watak Yinchyin ternyata jauh lebih menarik dari pada dirinya. Yinchyin bisa gembira meski ia bukan seorang tuan Puteri. Yinchyin bisa cantik meski cuma senyum jadi riasan wajahnya. Dan yang membuat Ziwei takjub Yinchyin tidak pernah mau jadi puteri. Mendadak batin Ziwei menggerutu. Ia ingin sekali dirinya adalah Yinchyin.
            Petang ini Ziwei akan menyambangi pondok asuh di sebuah kawasan yang jauh letak dan kondisinya dari puri yang ia huni. Ia harus terlibat dalam permainan impresi untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai priyayi yang penuh empati.
            Memasuki barung-barung tua itu, anak-anak disana telah dipandu agar kompak bersikap manis menyambut tamu agung.
            "Bagaimana kabar kalian?" Ziwei bertanya untuk mereka dan lebih untuk dirinya.
            Serempak menjawab,"Hao.." seraya teriakan ricuh ala anak-anak dukuh.
            Ziwei pun memulai prosesi. Membagi-bagikan kebutuhan primer sampai sekunder. Memproklamirkan akan mengutus beberapa pengajar untuk anak-anak disana. Dan terakhir makan bersama. Menyenangkan sekalipun Ziwei harus terus menyetel senyum duplikatnya. Ziwei terngiang senyum Yinchyin. Seorang anak bernama Yan xhu dengan mata bulat terus melototinya. Ziwei menyadari itu. barangkali gadis kecil itu terlalu malu untuk menegurnya. Maka, Ziwei berbaik hati mengelus rambut perempuan cilik itu, menyapanya duluan.
            "Nihao, piaoliang.. nama kamu Yan xu, bukan?"Si anak akhirnya mengangguk ragu setelah lama bengong dan hanya menatap lurus wajah Ziwei.
            "Apa Anda seorang Puteri?" akhirnya anak pipi tembem itu bersuara.
            Ziwei tergelak. Kehidupannya memang bagai seorang puteri dongeng klasik ala tradisi barat. Sekalipun gelar itu tidak disandangnya secara resmi.
            "Ya, apa aku terlihat demikian? Kau ingin jadi seorang puteri?" Ziwei balik bertanya polos.
            "Shi de.. aku mau! Tapi, aku mau jadi puteri di langit.." Yan Xhu menunjuk langit-langit pondoknya yang nyaris ambruk.
            "Puteri di langit? Memangnya ada?"
            Seketika tatapan mata sipitnya yang cenderung bulat menyirat tatapan menyindir,"Tentu saja ada! Seharusnya tuan Puteri tahu itu.."
            "Aku belum pernah dengar, piaoliang.."
            Yan xhu mendekatkan wajahnya ke sebelah kuping Ziwei. Berbisik, tapi suaranya tidak merendah,"Ibuku sebelum pergi ke langit, pernah berpesan.. aku harus mencintai semua yang aku punya, apapun itu. Mencintai diri sendiri, biarpun aku dieejek anak gembel."
            Sontak Ziwei terempas ke dalam pusaran akalnya. Perkataan seorang anak kecil menggiringnya memasuki zona tergelap dimana ia sangat phobia dengan kegelapan di sana. mencintai semuanya. Apapun itu. Diri sendiri yang telah terjalnjur ia bunuh, lantas Ziwei hidup entah sebagai siapa. Ia dihantui setiap saat akibat membunuh dirinya dalam sel-sel otaknya. Ziwei phobia dengan dirinya sendiri, mencoba menciptakan seseorang yang ia sukai di dalam ruhnya.
            "Dengan begitu, aku kelak akan benar-benar bahagia. Ketika di langit aku akan menemukan diriku yang sejati. Sebagai seorang puteri, abadi," lanjut Yan Xhu antusias,"begitu kata ibuku, Puteri.."
**
            Akhir-akhir ini Ziwei berubah total. Tidak seperiang biasanya. Tidak seagresif dan tidak pula ramah. Ziwei terus mengurung diri di kamar. Menatap langit. Sesekali ia bepergian dan tiap kali ditanya mau kemana, Ziwei menjawab hambar,"aku mau menemukan langit. Di bumi aku tidak menemukan diriku." Yinchyin dibuat pusing dengan ulah Ziwei. Namun, ia tetap dengan tulus menanggapi semua omongan tuannya yang tak ia mengerti dengan senyum. "Barangkali Anda bisa bertanya pada laut. Dimana jalan menuju langit," senja itu Yinchyin menemai Ziwei membuang penat di pesisir pantai yang sunyi. Lagi-lagi tuannya bercuap aneh. Yinchyin berusaha mengikuti jalan pikiran Ziwei dengan tanggapan yang sama anehnya. Ziwei tertegun. Kali ini matanya berpindah sorot. Ia menebar jala tatapnya ke penjuru pantai. Kemudian, mulai melangkah lamat-lamat di bibir pesisir. Beberapa langkah, air masih setinggi pinggangnya. Yinchyin membiarkan nonanya bermain air. Mungkin saja Ziwei sudah melewati ambang batas kejenuhan dan butuh waktu santai.
            Senja semakin surut. Dan langit warna merah darah. Kaki Ziwei yang jenjang tidak menapak dasar pantai lagi. Ia sudah berada di tengah laut antara bibir pantai dan batas horizon.
            "Nona! Nonaaaa…!" Yinchyin berurai air mata, saat sadar ia lengah mengamati Ziwei yang sengaja membiarkan tubuhnya di ajak ombak. Yinchyin menyesal dengan ucapannya beberapa jenak lalu perihal laut. Tidak ada langit di laut, Ziwei. Laut hanya menyimpan delusi langit.
            Zai jian, Zewei. Entah kehidupan langit seperti apa yang ia temu di dasar laut. Apakah Ziwei telah menemukan wajahNya yang sejati? Dia hanya perempuan kuat yang tidak berani dan tidak yakin akan diriNya.

*Foot Notes :
Hao = baik
Nihao, piaoliang = halo, cantik
Zai jian = selamat jalan


Senin, 29 September 2014

Beberapa Fiksi Mini Saya





Kota Para Barbar

            Tersebutlah kota paraBarbar. Segala sesuatu dimonitori lembar-lembar kertas, umpama jelmaan tangan Tuhan. Di kota para bedebah, tak ada yang mengenal akherat. Kejahatan adalah pahala yang gemar dihelat. Uang-uang gemar diperangkap. Semakin kau lebih setan dari iblis, maka itulah kebahagian hakiki. Surga adalah materi. Neraka itu bila kau setuju Tuhan ada. Kemalangan akan menimpa sejadi-jadi, seandainya kau orang baik.
            "Kau akan pailit, Sam. Dalam waktu dekat kau harus melikuidasi semua kekayaanmu. Tak bersisa, kecuali—" pria sepuh setengah abad itu tersenyum licik, tahu kondisi teman karibnya benar-benar buruk, kecuali bila ia bersedia berbaik hati sedikit. Berbaik hati di kota para barbar itu, dianggap noda atau sebut saja dosa. Jika dilakukan akan mendapat derita tak terbilang, termaktub dalam hukum tertulis kau akan diancam masuk neraka. Jika beruntung hanya mendekam dalam jeruji. Ini kota para bedebah. Kekayaan nomor satu.
            "Apa itu?" Sam antusias. Ia akan melakukan apapun demi harga diri dan uang.
            "Aku mau menikah dengan Zilian, anak gadis bungsumu,"
            Sam menelan ludah.
17.mei.2014
***
Lanjutan dari kisah fiksi mini Kota Para Barbar…
Di Negeri Mahardika
            "Aku mau menikah dengan Zilian, anak gadis bungsumu,"
            Sam menelan ludah. Astaga, Zilian baru berusia tiga belas.
            "Ayolah Sam, apalah arti satu pengorbanan buat semua martabat yang bakal kembali digenggamanmu, utuh. Bahkan aku bisa membawamu melejit berpuluh-puluh kaki dari bumi." Tua Bangka itu terbahak menyebalkan.
            Apa mau dikata, sam mengiyakan dengan mudah. Melepaskan Zilian jadi isteri bontot  Zhar. Sebuah resiko bila terlanjur lahir di negeri ini, Negeri Barbar. Tak ada yang nomor wahid kecuali uang, martabat, dan tahta. Kasih sayang sekalipun hanya mendapat gelar tak 'bernilai' bukan tak 'ternilai'
            Lima belas tahun kemudian, reformasi besar-besaran terjadi di negeri Barbar. Kekuasaan diambil alih. Sejak sepuluh tahun silam Zhar turun tahta. Kedaulatan negeri barbar berubah. Semua sistem hipokrasi dimusnahkan. Kekuasaan jatuh di tangan seorang bestari yang cakap menumpas ketidakbecusan di tanah leluhurnya. Adalah Zilian, ratu yang memimpin negeri Mahardika yang semula bernama negeri Barbar.
            Sore itu, ratu Zilian sedang mengadakan kunjungan di sebuah kota. Di tengah jalan matanya tidak sengaja menumpu pada seorang pria renta yang terseok-seok di pinggir trotoar, "ayah!"
            Yang dipanggil menoleh linglung. Namun, hanya sekejap. Lantas, air matanya luruh.
            "Ayah aku mencarimu setengah mati." Zilian meraih tubuh ringkih itu.
            "Kau tak membenci ayah, Nak?"
29. mei. 2014
****
Shumimasen!

            Di kapal kayu tentara jepang, jerit tangis perawan remaja berjatuhan satu-satu. Gadis-gadis belia itu pupus sudah. Mereka ditipu janji balatentara Dai Nippon yang mengumumkan propaganda jika para gadis yang terpilih akan disekolahkan di Tokyo. Salah satunya Nurmala. Gadis rupawan yang begitu senang saat tentara jepang menjemputnya di rumah. Ia pikir sekembalinya ke tanah air, bapaknya yang petani miskin itu tidak akan berletih-letih lagi sebab dirinya kelak akan jadi sarjana. Akan dapat kerja yang layak.
            Tapi, hancur sudah hati Nurmala dan puluhan gadis di kapal itu. Balatentara Jepang sudah menunjukkan gelagat biadap. Bahkan sebagian dari mereka sudah tidak perawan lagi.
            "Nomor 34? Mana gadis nomor 34?!" seru seorang gadis jepang bertudung. Sepertinya ia ditugaskan mengkordinir para perawan pribumi untuk mengenyangkan tentara jepang yang lapar birahi.
            Nurmala menunduk. Ragu-ragu mengangkat tangannya. Perempuan jepang misterius itu mengangguk. Menuntun Nurmala menuju kamar eksekusi.
            "Jangan Khawatir. Aku Namira, puteri kandung Laksamana Shikimura. Lima belas menit lagi ayahku ke sini. Ia baru saja minum-minum dan saat ini sedang mabuk. Lekas matikan semua lampu di kamar ini. biar aku  yang di atas ranjang. Setelah itu, rencanakan nasibmu dan kawan-kawanmu diluar."
            Tremor menyerang sekujur tubuh Nurmala. Baru saja seseorang menyelamatkan nasibnya dengan membiarkan ayahnya sendiri melukainya. Shumimahen.. dan ini lebih derita dari menanggung nasib malang.
04. mei. 2014
***
Ketika Pemula Menulis
Namanya 'Pemula', ukuran nama yang aneh memang. Ia gadis berusia  delapan belas. Teman-temannya punya cara sendiri menyapanya. Kadang ia dipanggil Lala, Mumu, atau Mule'. Apapun nama yang terdengar lazim dan diambil dari penggalan namanya. Pemula punya hobi, ia senang menulis. Meski, hobinya itu sering membuat migrannya kambuh akibat berlama-lama di depan layar laptop. Tapi, tak apalah. Bagi Pemula, menulis umpama teman karib. Meski, tulisannya kadang dianggap sampah saja bagi yang telah lama cemplung di dunia sastra. Pernha suatu malam Pemula membaca pengumuman lomba menulis. Ia antusias membuka laptop, bersiap menghamburkan idenya. Lupa jika beberapa menit lalu ia sudah begitu mengantuk.
            Beberapa hari menjelang. Pemula tak sabar menunggu hasil lomba. Satu email dari panitia lomba bertengger di kotak masuknya.
            "Terima Kasih. Kami sudah membaca Tulisan Anda, sayang judul tulisan Anda mirip dengan judul puisi Aldi Mashardi. Maaf, tolong kirim yang orisinil." Begitu bunyinya.
            Wajah Pemula tertekuk. Ia bingung dengan bunyi kalimat dari panitia. Ah, bagamana pula tulisannya dikata bukan orisinil? Malam-malam ia menulisnya dengan mengacak ide di kepala, meski sudah kantuk. Ia harus lekas menulis dan mengirim ke panitia sebelum batas deadline. Pemula menghela nafas, berusaha ikhlas dan tetap menulis. Bukankah ditolak itu biasa? Pemula kembali tersenyum.
27. mei.2014
**
KISAH IKHLAS DAN RIYA'
            Ikhlas dan Riya' saudara kembar. Mereka punya sifat yang kontras tapi sulit dibedakan. Seperti gambaran dalam cermin, terlihat persis, tapi terbalik total. Orang-orang tak sedikit yang khilaf mengenali keduanya, saking kembar mereka.
            Waktu itu, Riya' tak sengaja mendapati Ikhlas sedang menangis hebat. Tubuh terguncang. Kesedihan yang begitu asing menyerang Ikhlas. Bukankah ia alasan sederhana untuk bahagia? Lantas mengapa Ikhlas menangis?
            Riya' bertanya, "ada apa, Las?"
            Ikhlas susah payah menahan sesenggukan,"apa salahku? Hati mana pun sulit sekali menerimaku."
            Riya' bergeming. Selama ini begitulah yang dilakukan Riya', menyamar sebagai ikhlas. Lantas hati orang-orang banyak yang tak yakin, bagaimana mungkin Ikhlas bisa bikin bahagia?
03. juni. 2014
**

Kamis, 25 September 2014

Dua buah puisi untuk negeri yang jauh dimana air mata dan peluru jatuh





Kepada Tuhan yang Baik Hati


"tuhan, berikan aku tongkat ajaib Musa, aku mau membelah negeriku, mengubur seluruh peluru,"

"tuhan, ada apa dengan fir'aun? Mashikah ia dendam dengan Musa? Jadikanlah dada kami kami sungai-sungai yang mengalir, tuhan.. mereka mencurigai kami mengamankan Musa di balik iman kami. Selamatkan iman kami, hanyutkan iman kami, agar bermuara di Arsy.."

"tuhan, buatkan aku aku bahtera seperti Nuh, aku mau menampung segenap masa kanakku agar tidak mati dilanda bah air mata,"

"tuhan, tulislah sebuah surat buatku perihal sabda-sabda Muhammad yang penyabar ditinggal pergi ibu-bapaknya,"

"tuhan, mengapa mereka persis saudara nabi Yusuf yang berniat mengucilkan hati kecilku dengan sebuah penghargaan yang tidak punya daya menyelamatkan ibuku? Mengapa mereka bertepuk tangan melihat senyumku yang cacat? Mengapa mereka tersenyum mendapati aku hanya bocah dungu? dimana bakal aku taruh penghargaan mengkilap ini? ah, tuhan, aku sudah tidak punya rumah, rumahku hancur. Kecuali, tuhan, engkau sudi memberi aku rumah baru lengkap dengan ibu dan ayah yang bisa kupeluk, apa permintaanku muluk?"

"tuhan, mengapa engkau takdirkan negeri syam berperang? Jadikan aku nabi Khidir, tuhan—yang pandai mengeja maksudmu,"

"…Amin."

Di malam yang berkabung,

Ahed Tamimi menengadah dengan kedua telapak tangan seolah hendak meminta tuhan mengamankan negerinya ke sepasang mungil telapak tangannya—di sisi do'anya yang lugu.

(dipublikasi dalam buku kumpulan puisi FAm "BEBASKAN PALESTINA" 2014)

**






Dini Hari, Palestina Susah Tidur


Jantung Palestina sedang lantang berdebar.

(roket-roket Israel berkibar, mematahkan tiang bendera, membunuh yang merdeka)

Wajah Palestina bersemu merah

(seringai tentara membuat perangai anak-anak berdarah. Tangis para orang tua diperah sebab Zionis sedang haus parah
"tenggaklah sampai hausmu tuntas dan waktumu amblas. Di dunia kematian, api telah siaga merebus sampai hangus air mata yang kau telan sambil tertawa-tawa!")

Palestina seperti pemuda yang diserang jatuh cinta,"akan aku korbankan apapun, sebab tubuhku yang tanah tidak akan pernah sesuci cintamu,"

(Mereka membeli senjata dengan lembar-lembar uang yang serakah. Kita mungkin tidak punya keserakahan dan uang, tapi ayat-ayat quran ialah alat bayar yang sah buat membeli utuh kemenangan
Langit di Gaza menatap pasrah tanah di hadapannya,"tenanglah.. telah aku siapkan lahan di tubuhku yang paling luas dan tertinggi, syuhada! Tidak ada penjajah apalagi darah..")

Ia menyatakan cinta pada Palestina. Jantung Palestina sedang lantang berdebar. Wajah Palestina bersemu merah. Palestina seolah anak muda yang sedang diserang jatuh cinta.
(Tuhan bersemayam di lubuk gubuk kita. Ia hanya sedang menguji cinta dengan kelaliman yang seolah perkasa dan bertubuh tangguh bersenjata ampuh. Sementara kebenaran di mata dunia adalah fana)

Saudaraku, lengan do'aku tidak kekar dan lebar buat sekedar mengusap punggungmu. Maaf sungguh maaf, kami barangkali sedang menonton tivi dengan mata iba sekaligus bersyukur mendapati Tuhan tidak berada di gubuk kami.

**

**sebaik-baik wanita mungkin ada di palestina. rahimnya khusyuk membesarkan jantung mungil yang kelak akan menjaga (dan membalas) surat-surat cinta Tuhan, InsyaAlloh.