Powered By Blogger

Senin, 29 September 2014

Beberapa Fiksi Mini Saya





Kota Para Barbar

            Tersebutlah kota paraBarbar. Segala sesuatu dimonitori lembar-lembar kertas, umpama jelmaan tangan Tuhan. Di kota para bedebah, tak ada yang mengenal akherat. Kejahatan adalah pahala yang gemar dihelat. Uang-uang gemar diperangkap. Semakin kau lebih setan dari iblis, maka itulah kebahagian hakiki. Surga adalah materi. Neraka itu bila kau setuju Tuhan ada. Kemalangan akan menimpa sejadi-jadi, seandainya kau orang baik.
            "Kau akan pailit, Sam. Dalam waktu dekat kau harus melikuidasi semua kekayaanmu. Tak bersisa, kecuali—" pria sepuh setengah abad itu tersenyum licik, tahu kondisi teman karibnya benar-benar buruk, kecuali bila ia bersedia berbaik hati sedikit. Berbaik hati di kota para barbar itu, dianggap noda atau sebut saja dosa. Jika dilakukan akan mendapat derita tak terbilang, termaktub dalam hukum tertulis kau akan diancam masuk neraka. Jika beruntung hanya mendekam dalam jeruji. Ini kota para bedebah. Kekayaan nomor satu.
            "Apa itu?" Sam antusias. Ia akan melakukan apapun demi harga diri dan uang.
            "Aku mau menikah dengan Zilian, anak gadis bungsumu,"
            Sam menelan ludah.
17.mei.2014
***
Lanjutan dari kisah fiksi mini Kota Para Barbar…
Di Negeri Mahardika
            "Aku mau menikah dengan Zilian, anak gadis bungsumu,"
            Sam menelan ludah. Astaga, Zilian baru berusia tiga belas.
            "Ayolah Sam, apalah arti satu pengorbanan buat semua martabat yang bakal kembali digenggamanmu, utuh. Bahkan aku bisa membawamu melejit berpuluh-puluh kaki dari bumi." Tua Bangka itu terbahak menyebalkan.
            Apa mau dikata, sam mengiyakan dengan mudah. Melepaskan Zilian jadi isteri bontot  Zhar. Sebuah resiko bila terlanjur lahir di negeri ini, Negeri Barbar. Tak ada yang nomor wahid kecuali uang, martabat, dan tahta. Kasih sayang sekalipun hanya mendapat gelar tak 'bernilai' bukan tak 'ternilai'
            Lima belas tahun kemudian, reformasi besar-besaran terjadi di negeri Barbar. Kekuasaan diambil alih. Sejak sepuluh tahun silam Zhar turun tahta. Kedaulatan negeri barbar berubah. Semua sistem hipokrasi dimusnahkan. Kekuasaan jatuh di tangan seorang bestari yang cakap menumpas ketidakbecusan di tanah leluhurnya. Adalah Zilian, ratu yang memimpin negeri Mahardika yang semula bernama negeri Barbar.
            Sore itu, ratu Zilian sedang mengadakan kunjungan di sebuah kota. Di tengah jalan matanya tidak sengaja menumpu pada seorang pria renta yang terseok-seok di pinggir trotoar, "ayah!"
            Yang dipanggil menoleh linglung. Namun, hanya sekejap. Lantas, air matanya luruh.
            "Ayah aku mencarimu setengah mati." Zilian meraih tubuh ringkih itu.
            "Kau tak membenci ayah, Nak?"
29. mei. 2014
****
Shumimasen!

            Di kapal kayu tentara jepang, jerit tangis perawan remaja berjatuhan satu-satu. Gadis-gadis belia itu pupus sudah. Mereka ditipu janji balatentara Dai Nippon yang mengumumkan propaganda jika para gadis yang terpilih akan disekolahkan di Tokyo. Salah satunya Nurmala. Gadis rupawan yang begitu senang saat tentara jepang menjemputnya di rumah. Ia pikir sekembalinya ke tanah air, bapaknya yang petani miskin itu tidak akan berletih-letih lagi sebab dirinya kelak akan jadi sarjana. Akan dapat kerja yang layak.
            Tapi, hancur sudah hati Nurmala dan puluhan gadis di kapal itu. Balatentara Jepang sudah menunjukkan gelagat biadap. Bahkan sebagian dari mereka sudah tidak perawan lagi.
            "Nomor 34? Mana gadis nomor 34?!" seru seorang gadis jepang bertudung. Sepertinya ia ditugaskan mengkordinir para perawan pribumi untuk mengenyangkan tentara jepang yang lapar birahi.
            Nurmala menunduk. Ragu-ragu mengangkat tangannya. Perempuan jepang misterius itu mengangguk. Menuntun Nurmala menuju kamar eksekusi.
            "Jangan Khawatir. Aku Namira, puteri kandung Laksamana Shikimura. Lima belas menit lagi ayahku ke sini. Ia baru saja minum-minum dan saat ini sedang mabuk. Lekas matikan semua lampu di kamar ini. biar aku  yang di atas ranjang. Setelah itu, rencanakan nasibmu dan kawan-kawanmu diluar."
            Tremor menyerang sekujur tubuh Nurmala. Baru saja seseorang menyelamatkan nasibnya dengan membiarkan ayahnya sendiri melukainya. Shumimahen.. dan ini lebih derita dari menanggung nasib malang.
04. mei. 2014
***
Ketika Pemula Menulis
Namanya 'Pemula', ukuran nama yang aneh memang. Ia gadis berusia  delapan belas. Teman-temannya punya cara sendiri menyapanya. Kadang ia dipanggil Lala, Mumu, atau Mule'. Apapun nama yang terdengar lazim dan diambil dari penggalan namanya. Pemula punya hobi, ia senang menulis. Meski, hobinya itu sering membuat migrannya kambuh akibat berlama-lama di depan layar laptop. Tapi, tak apalah. Bagi Pemula, menulis umpama teman karib. Meski, tulisannya kadang dianggap sampah saja bagi yang telah lama cemplung di dunia sastra. Pernha suatu malam Pemula membaca pengumuman lomba menulis. Ia antusias membuka laptop, bersiap menghamburkan idenya. Lupa jika beberapa menit lalu ia sudah begitu mengantuk.
            Beberapa hari menjelang. Pemula tak sabar menunggu hasil lomba. Satu email dari panitia lomba bertengger di kotak masuknya.
            "Terima Kasih. Kami sudah membaca Tulisan Anda, sayang judul tulisan Anda mirip dengan judul puisi Aldi Mashardi. Maaf, tolong kirim yang orisinil." Begitu bunyinya.
            Wajah Pemula tertekuk. Ia bingung dengan bunyi kalimat dari panitia. Ah, bagamana pula tulisannya dikata bukan orisinil? Malam-malam ia menulisnya dengan mengacak ide di kepala, meski sudah kantuk. Ia harus lekas menulis dan mengirim ke panitia sebelum batas deadline. Pemula menghela nafas, berusaha ikhlas dan tetap menulis. Bukankah ditolak itu biasa? Pemula kembali tersenyum.
27. mei.2014
**
KISAH IKHLAS DAN RIYA'
            Ikhlas dan Riya' saudara kembar. Mereka punya sifat yang kontras tapi sulit dibedakan. Seperti gambaran dalam cermin, terlihat persis, tapi terbalik total. Orang-orang tak sedikit yang khilaf mengenali keduanya, saking kembar mereka.
            Waktu itu, Riya' tak sengaja mendapati Ikhlas sedang menangis hebat. Tubuh terguncang. Kesedihan yang begitu asing menyerang Ikhlas. Bukankah ia alasan sederhana untuk bahagia? Lantas mengapa Ikhlas menangis?
            Riya' bertanya, "ada apa, Las?"
            Ikhlas susah payah menahan sesenggukan,"apa salahku? Hati mana pun sulit sekali menerimaku."
            Riya' bergeming. Selama ini begitulah yang dilakukan Riya', menyamar sebagai ikhlas. Lantas hati orang-orang banyak yang tak yakin, bagaimana mungkin Ikhlas bisa bikin bahagia?
03. juni. 2014
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pedas-pedas menggelitik